I. Sumber-sumber hukum
formal
Sumber hukum
formal merupakan sumber-sumber hukum yang telah mempunyai bentuk tertentu
sehingga kita dapat menemukan dan mengenal suatu bentuk hukum dan
menjadi faktor yang memberlakukan dan mempengaruhi kaidah atau aturan
hukum. Dinamai dengan sumber hukum formal karena semata-mata mengingat cara
untuk mana timbul hukum positif, dan bentuk dalam mana timbul hukum positif,
dengan tidak lagi mempersoalkan asal-usul dari isi aturan-aturan hukum
tersebut. Sumber-sumber hukum formal membentuk pandangan-pandangan hukum
menjadi aturan-aturan hukum, membentuk hukum sebagai kekuasaan yang mengikat.
Jadi sumber hukum formal ini merupakan sebab dari berlakunya aturan-aturan
hukum.
Sumber hukum
formal ini biasanya digunakan oleh para hakim, jaksa dan penasehat hukum
sebagai dasar atau pertimbangan untuk membuat putusan, rumusan tuntutan dan
atau sebagai nasehat hukum kepada kliennya. Sumber-sumber hukum formil dalam
tata negara dikenal dengan istilah kenbron.
Berikut ini
adalah sumber-sumber hukum formal:
1. Undang-Undang “Statute”
Undang-undang
dalam hukum Indonesia lebih dikenal dengan singkatan UU. Undang-undang di
Indonesia menjadi dasar hukum negara Indonesia. Undang-undang di Indonesia
berfungsi sebagai pedoman yang mengatur kehidupan bersama seluruh rakyat
Indonesia dalam rangka mewujudkan tujuan hidup bernegara. Dilihat dari
bentuknya, hukum dibedakan menjadi:
(a). Hukum
Tertulis
(b). Hukum
Tidak Tertulis
Undang-undang
merupakan salah satu contoh dari hukum tertulis. Jadi, Undang-undang adalah
peraturan negara yang dibentuk oleh alat perlengkapan negara yang berwenang
untuk itu dan mengikat masyarakat umum.
Dari
definisi undang-undang tersebut, terdapat 2 (dua) macam pengertian :
a.
Undang-undang dalam arti materiil, yaitu: setiap peraturan yang dikeluarkan
oleh Negara yang isinya langsung mengikat masyarakat umum. Misalnya: Ketetapan
MPR, Peraturan pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPU), Keputusan Presiden
(KEPRES), Peraturan Daerah (PERDA), dll
b.
Undang-undang dalam arti formal, yaitu: setiap peraturan negara yang karena
bentuknya disebut Undang-undang atau dengan kata lain setiap
keputusan/peraturan yang dilihat dari cara pembentukannya. Di Indonesia,
Undang-undang dalam arti formal dibuat oleh Presiden dengan persetujuan
DPR(lihat pasal 5 ayat 1 UUD 45).
Perbedaan
dari kedua macam Undang-Undang tersebut terletak pada sudut peninjauannya.
Undang-undang dalam arti materiil ditinjau dari sudut isinya yang mengikat
umum, sedangkan undang-undang dalam arti formal ditinjau segi pembuatan dan
bentuknya. Oleh karena itu untuk memudahkan dalam membedakan kedua macam
pengertian undang-undang tersebut, maka undang-undang dalam arti materiil
biasanya digunakan istilah peraturan, sedangkan undang-undang dalam arti formal
disebut dengan undang undang.
2. Kebiasaan atau “custom”
Kebiasaan
juga dapat menjadi salah satu sumber-sumber hukum karena kebiasaan merupakan
perbuatan manusia yang dilakukan berulang-ulang. Perbuatan tertentu yang
dilakukan berulang-ulang tersebut pada gilirannya dapat diterima sebagai
kebiasaan tertentu sehingga apabila terdapat perbuatan yang bertentangan dengan
kebiasaan tersebut dapat dianggap pelanggaran hukum dan dikenakan sanksi.
“Dasarnya :
Pasal 27 Undang-undang No. 14 tahun 1970 tentang Pokok-pokok Kekuasaan
Kehakiman di Indonesia mengatur bahwa: hakim sebagai penegak hukum dan keadilan
wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat.
Dalam
penjelasan otentik pasal di atas dikemukakan bahwa dalam masyarakat yang masih
mengenal hukum yang tidak tertulis serta berada dalam masa pergolakan dan
peralihan, hakim merupakan perumus dan penggali nilai-nilai hukum yang hidup di
kalangan rakyat. Untuk itu ia harusterjun ke tengah-tengah masyarakatnya untuk
mengenal, merasakan dan mampu menyelami perasaan hukum dan rasa keadilan yang
hidup dalam masyarakat. Dengan demikian hakim dapat memberikan putusan yang
sesuai dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat.
Agar
kebiasaan memiliki kekuatan yangberlaku dan sekaligus menjadi sumber hukum,
maka harus dipenuhi syarat sebagai berikut:
A. Harus ada
perbuatan atau tindakan tertentu yang dilakukan berulangkali dalam hal yang
sama dandiikuti oleh orang banyak/ umum.
B. Harus ada
keyakinan hukum dari orang-orang/ golongan-golongan yang berkepentingan. dalam
arti harus terdapat keyakinan bahwa aturan-aturan yang ditimbulkan oleh
kebiasaan itu mengandung/ memuat hal-hal yang baik dan layak untuk diikuti/
ditaati serta mempunyai kekuatan mengikat.
3. Keputusan Hakim atau “Jurisprudentie”
Keputusan
hakim atau yurisprudensi juga dapat menjadi salah satu dari sumber-sumber hukum
oleh karena dalam sistem negara hukum kita keputusan hakim dapat dijadikan
sebagai pedoman bagi hakim yang lain dalam memutuskan kasus yang sama. Pengertian
yurisprudensi di Negara-negara yang hukumnya Common Law (Inggris atau Amerika)
sedikit lebih luas, di mana yurisprudensi berarti ilmu hukum. Sedangkan
pengertian yurisprudensi di Negara-negara Eropa Kontinental (termasuk
Indonesia) hanya berarti putusan pengadilan. Adapun yurisprudensi yang kita
maksudkan dengan putusan pengadilan, di Negara Anglo Saxon dinamakan preseden.
Sudikno mengartikan yurisprudensi
sebagai peradilan pada umumnya, yaitu pelaksanaan hukum dalam hal konkret
terhadap tuntutan hak yang dijalankan oleh suatu badan yang berdiri sendiri dan
diadakan oleh suatu Negara serta bebas dari pengaruh apa atau siapa pundengan
cara memberikan putusan yang bersifat mengikat dan berwibawa. Walaupun
demikian, Sudikno menerima bahwa di samping itu yurisprudensi dapat pula
berarti ajaran hukum atau doktrin yang dimuat dalam putusan. Juga yurisprudensi
dapat berarti putusan pengadilan.
Yurisprudensi dalam arti sebagai putusan pengadilan dibedakan lagi dalam dua macam :
a. Yurisprudensi (biasa), yaitu seluruh putusan pengadilan yang telah memiliki
kekuatan pasti, yang terdiri dari :
1) Putusan perdamaian;
2) Putusan pengadilan negeri yang tidak di banding;
3) Putusan pengatilan tinggi yang tidak di kasasi;
4) Seluruh putusan Mahkamah Agung.
b. Yurisprudensi tetap (vaste jurisprudentie), yaitu putusan hakim yang selalu diikuti oleh hakim lain dalam perkara sejenis.
1) Putusan perdamaian;
2) Putusan pengadilan negeri yang tidak di banding;
3) Putusan pengatilan tinggi yang tidak di kasasi;
4) Seluruh putusan Mahkamah Agung.
b. Yurisprudensi tetap (vaste jurisprudentie), yaitu putusan hakim yang selalu diikuti oleh hakim lain dalam perkara sejenis.
4. Traktat atau “Treaty”
Traktat
ialah perjanjian yang diadakan oleh beberapa negara atau antar negara yang
dituangkan dalam bentuk tertentu. Traktat tersebut dapat menjadi sumber bagi
pembentukan peraturan hukum. Dasar hukum treaty: Pasal 11 ayat (1 & 2) UUD
1945 yang berisi :
Kode:
(1) Presiden dengan persetujuan
DPR menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan
Negara lain;
Kode:
(2) Presiden
dalam membuat perjanjian internasional lainnya yang menimbulkan akibat yang
luasdan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan
Negara, dan /atau mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang harus
dengan persetujuan DPR.
5. Pendapat Sarjana Hukum atau “Doktrin”
Yang
dimaksud dengan pendapat sarjana hukum disini adalah pendapat seseorang atau
beberapa orang ahli hukum terhadap suatu masalah tertentu. Hal ini didukung
Piagam Mahkamah Internasional dalam pasal 38 ayat 1, yang menyebutkan bahwa:
“Dalam
menimbang dan memutus suatu perselisihan dapat menggunakan beberapa pedoman
antara lain:
- Perjanjian-perjanjian internasional atau International conventions;
- Kebiasaan-kebiasaan internasional atau international customs;
- Asas-asas hukum yang diakui oleh bangsa-bangsa yang beradab atau the general principles of law recognized by civilsed nations;
- Keputusan hakim atau judicial decisions dan pendapat-pendapat sarjana hukum”
Doktrin
bukan hanya berlaku dalam pergaulan hukum nasional, melainkan juga dalam
pergaulan hukum internasional, bahkan doktrin merupakan sumber hukum yang
paling penting. Begitu pula bagi penerapan hukum Islam di Indonesia, khususnya
dalam perkara perceraian dan kewarisan, doktrin malah merupakan sumber hukum
utama, yaitu pendapat pakar-pakar fiqh seperti Syafii, Hambali, Malik dan
sebagainya
A. Subjek Hukum
Subyek hukum
adalah setiap makhluk yang berwenang untuk memiliki, memperoleh, dan
menggunakan hak-hak kewajiban dalam lalu lintas hukum.
Subyek hukum
terdiri dari dua jenis yaitu manusia biasa dan badan hukum.
• Manusia
biasa (natuurlijke persoon)
manusia sebagai subyek hukum telah mempunyai hak dan mampu
menjalankan haknya
dan dijamin oleh hukum yang berlaku dalam hal itu menurut pasal 1 KUH Perdata
menyatakan bahwa menikmati hak kewarganegaraan tidak tergantung pada hak
kewarganegaraan.
Setiap
manusia pribadi (natuurlijke persoon)
sesuai dengan hukum dianggap cakap bertindak sebagai subyek hukum kecuali dalam
Undang-Undang dinyatakan tidak cakap seperti halnya dalam hukum telah dibedakan
dari segi perbuatan-perbuatan hukum adalah sebagai berikut :
- Cakap melakukan perbuatan hukum adalah orang dewasa menurut hukum (telah berusia 21 tahun dan berakal sehat).
- Tidak cakap melakukan perbuatan hukum
berdasarkan
pasal 1330 KUH perdata tentang orang yang tidak cakap untuk membuat perjanjian
adalah :
1. Orang-orang yang belum dewasa (belum mencapai usia 21
tahun).
2. Orang ditaruh dibawah pengampuan (curatele) yang terjadi
karena gangguan jiwa pemabuk atau pemboros.
3 3. Orang wanita dalam perkawinan yang berstatus sebagai
istri.
Istilah Badan
Hukum sudah merupakan istilah yang resmi. Istilah ini dapat dijumpai dalam
perundang-undangan, antara lain :
1. Dalam
hukum pidana ekonomi istilah Badan Hukum disebut dalam Pasal 12. Hamsterwet (UU
Penimbunan Barang) – L.N. 1951 No. 90 jo. L.N. 1953 No. 4. Keistimewaan
Hamsterwet ini ialah Hamsterwet menjadi peraturan paling pertama di Indonesia
yang memberi kemungkinan menjatuhkan hukuman menurut hukum pidana
terhadap Badan Hukum. Kemudian kemungkinan tersebut secara umum ditentukan
dalam Pasal 15 L.N. 1955 No. 27.
2. Dalam
Undang-Undang Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960 antara lain Pasal 4 ayat(1).
3. Dalam
Perpu No. 19 Tahun 1960 dan lain sebagainya.
Menurut J.J.
Dormeier istilah Badan Hukum dapat diartikan sebagai berikut :
a. persekutuan
orang-orang, yang di dalam pergaulan hukum bertindak selaku
seorang
saja;
b. yayasan,
yaitu suatu harta atau kekayaan, yang dipergunakan untuk suatu maksud
yang
tertentu.
Pengertian
Badan Hukum sebagai subjek hukum itu mencakup hal berikut, yaitu :
a.
perkumpulan orang (organisasi);
b. dapat
melakukan perbuatan hukum (rechtshandeling)
dalam hubungan-hubungan
hukum (rechtsbetrekking);
c. mempunyai
harta kekayaan tersendiri;
d. mempunyai
pengurus;
e. mempunyai
hak dan kewajiban;
f. dapat
digugat atau menggugat di depan Pengadilan.
Badan hukum
dibedakan dalam 2 bentuk yaitu :
- Badan Hukum Publik (Publiek Rechts Persoon)
Badan Hukum
Publik (Publiek Rechts Persoon)
adalah badan hukum yang didirikan berdasarkan publik untuk yang menyangkut
kepentingan publik atau orang banyak atau negara umumnya seperti Negara
Republik Indonesia, Pemerintah Daerah tingkat I dan II, Bank Indonesia dan
Perusahaan Negara.
2.
Badan Hukum Privat (Privat Recths
Persoon)
Badan Hukum
Privat (Privat Recths Persoon)
adalah badan hukum yang didirikan berdasarkan hukum sipil atau perdata yang
menyangkut kepentingan banyak orang di dalam badan hukum itu, misalnya
perseroan terbatas, koperasi, yayasan, badan amal.
B. Objek Hukum
Menurut
system KUH perdata benda dapat dibedakan sebagai berikut:
1.Barang
yang wujud (lichamelijk) dan barang yang tidak berwujud (onlichamelijk)
2. Barang
yang bergerak dan barang yang tidak bergerak (yang paling penting)
Kemudian
berdasarkan pasal 503-504 KUH Perdata disebutkan bahwa benda dapat dibagi
menjadi 2, yakni benda yang bersifat kebendaan (Materiekegoderen), dan benda yang bersifat tidak kebendaan (Immateriekegoderan).
1.1 Benda
yang bersifat kebendaan (Materiekegoderen)
Benda yang
bersifat kebendaan (Materiekegoderen)
adalah suatu benda yang sifatnya dapat dilihat, diraba, dirasakan dengan panca
indera, terdiri dari benda berubah / berwujud, meliputi :
1. Benda bergerak / tidak tetap, berupa benda yang dapat
dihabiskan dan benda yang tidak dapat dihabiskan.
Dibedakan
menjadi sebagai berikut :
- Benda bergerak karena sifatnya, menurut pasal 509 KUH Perdata adalah benda yang dapat dipindahkan, misalnya meja, kursi, dan yang dapat berpindah sendiri contohnya ternak.
- Benda bergerak karena ketentuan undang-undang, menurut pasal 511 KUH Perdata adalah hak-hak atas benda bergerak, misalnya hak memungut hasil (Uruchtgebruik) atas benda-benda bergerak, hak pakai (Gebruik) atas benda bergerak, dan saham-saham perseroan terbatas.
1.2
Benda tidak bergerak
Benda tidak
bergerak dapat dibedakan menjadi sebagai berikut :
- Benda tidak bergerak karena sifatnya, yakni tanah dan segala sesuatu yang melekat diatasnya, misalnya pohon, tumbuh-tumbuhan, area, dan patung.
- Benda tidak bergerak karena tujuannya yakni mesin alat-alat yang dipakai dalam pabrik. Mesin senebar benda bergerak, tetapi yang oleh pemakainya dihubungkan atau dikaitkan pada bergerak yang merupakan benda pokok.
- Benda tidak bergerak karena ketentuan undang-undang, ini berwujud hak-hak atas benda-benda yang tidak bergerak misalnya hak memungut hasil atas benda yang tidak dapat bergerak, hak pakai atas benda tidak bergerak dan hipotik.
Dengan
demikian, membedakan benda bergerak dan tidak bergerak ini penting, artinya
karena berhubungan dengan 4 hal yakni :
1 A. Pemilikan (Bezit)
Pemilikan (Bezit) yakni dalam hal benda bergerak
berlaku azas yang tercantum dalam pasal 1977 KUH Perdata, yaitu berzitter dari barang bergerak adalah
pemilik (eigenaar) dari barang
tersebut. Sedangkan untuk barang tidak bergerak tidak demikian halnya.
B. Penyerahan (Levering)
Penyerahan (Levering) yakni terhadap benda
bergerak dapat dilakukan penyerahan secara nyata (hand by hand) atau dari tangan ke tangan, sedangkan untuk benda
tidak bergerak dilakukan balik nama.
C. Daluwarsa
(Verjaring)
Daluwarsa (Verjaring) yakni untuk benda-benda
bergerak tidak mengenal daluwarsa, sebab bezit
di sini sama dengan pemilikan (eigendom)
atas benda bergerak tersebut sedangkan untuk benda-benda tidak bergerak
mengenal adanya daluwarsa.
D. Pembebanan (Bezwaring)
Pembebanan (Bezwaring) yakni tehadap benda
bergerak dilakukan pand (gadai,
fidusia) sedangkan untuk benda
tidak bergerak dengan hipotik adalah hak tanggungan untuk tanah serta
benda-benda selain tanah digunakan fidusia.
1.3 Benda
yang bersifat tidak kebendaan (Immateriekegoderen)
Benda yang
bersifat tidak kebendaan (Immateriegoderen)
adalah suatu benda yang dirasakan oleh panca indera saja (tidak dapat dilihat)
dan kemudian dapat direalisasikan menjadi suatu kenyataan, contohnya merk
perusahaan, paten, dan ciptaan musik / lagu.
sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar