Sabtu, 30 April 2011

ANALISIS KAITAN PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN DENAGAN POLITIK LUAR NEGERI INDONESIA

1. PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN INDONESIA

A. Sumber-sumber pembiayaan Pembangunan Indonesia

Sumber-sumber pembiayaan untuk pembangunan di Indonesia antara lain berasal dari Dana Perimbangan yang diterima oleh Indonesia khususnya daerah Khusus Ibukota dari modal asing. Beberapa daerah yang kaya sumberdaya alam seperti Aceh, Riau, Kaltim, dan Papua akan dapat menggunakan Dana Bagi Hasil untuk membiayai belanja pembangunannya sedangkan bagi daerah-daerah miskin dan tidak memiliki SDA, belanja pembangunannya masih akan tergantung pada jumlah DAU dan DAK yang diterima pada tahun anggaran tertentu.

Dalam tahun anggaran 2001 sekitar 80 persen dari jumlah DAU digunakan untuk membayar gaji pegawai daerah, bagian DAU untuk belanja pembangunan relatife kecil sekali jumlahnya, sehingga diperlukan alternatife sumber pembiayaan pembangunan.

B. Modal Asing dalam Pembangunan

Sumber dana eksternal dapat dimanfaatkan untuk mempercepat investasi dan pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi yang meningkat perlu diikuti oleh perbankan struktur produksi dan perdagangan. Modal asing dapat berperan penting dalam mobilisasi dana maupun transformasi struktural. Kebutuhan akan modal asing menjadi menurun segera setelah perubahan struktur benar-benar terjadi.
Asumsi dasar yang melatar belakangi hubungan positif antara modal asing dan pertumbuhan ekonomi :

a. Setiap 1$ modal asing akan mengakibatkan kenaikan 1$ impor dan investasi.
b. Dengan asumsi ini dan ICOR yang stabil dimungkinkan untuk menghitung dampak
modal asing terhadap pertumbuhan ekonomi atau sebaliknya menghitung berapa modal asing yang diperlukan untuk mencapai target pertumbuhan tertentu.

C. Motivasi Negara Donor

Hutang luar negeri yang disalurkan oleh Negara maju ke Negara yang sedang berkembang dan atau Negara miskin tidak dilakukan atas dasar kemanusiaan, tetapi di lakukan atas dasar motivasi ekonomi dan bahkan politik. Hutang luar negeri tidak akan disalurkan tanpa adanya keuntungan yang diperoleh Negara pemberi hutang.

D. Struktur Pembiayaan Pembangunan

Di saat Orde Baru berkuasa banyak utang luar negeri dibuat dengan dalih untuk membangun BUMN. Bantuan ini telah menginjeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia dengan cara menutup deficit anggaran pembangunan dan deficit neraca pembayaran. Tak dapatdipungkiri bahwa bantuan luar negeri telah berfungsi sebagai injeksi pertumbuhan ekonomiIndonesia dengan cara menutup defisit anggaran pembangunan dan defisit neraca pembayaran. menunjukkan struktur pembiayaan pembangunan di mana perananbantuan luar negeri pernah mencapai Iebih dari 50 persen pada Pelita I dan IV. Kendatiperanan bantuan luar negeri semakin menurun pada tahun-tahun terakhir ini, persentasenyamasih di atas 35 Persen.Bahwa bantuan luar negeri di Indonesia telah berperanan penting dalam menutupdefisit anggaran dan defisit transaksi berjalan kiranya tidak perlu diperdebatkan lagi.

Boleh dikata dengan injeksi bantuan ini Indonesia telah dapatmempercepat laju pertumbuhan ekonominya. Kesimpulan sementara, Indonesia mengalamifenomena debt-led growth. Sepanjang bantuan tersebut efektif dan tidak menjadi bebannampaknya tidak ada yang mempermasalahkannya. Namun pada dasawarsa 1980-an,agaknya cicilan pokok pinjaman harus mulai dibayar karena sudah jatuh tempo. Akibatnya,sejak tahun fiskal 1987/1988 total cicilan utang berikut bunganya menjadi lebih besar 108dibanding pinjaman baru setiap tahunnya. Hal inilah yang banyak dituding oleh parapengamat sebagai net resource transfers yang negatif. Ini belum termasuk pelarian modal ke luar negeri.

Sebuah penelitian memperkirakan nilai pelarian modal dari Indonesia secara akumulatif dari 1970-1987 mencapai US$ 11 milyar, atau kurang lebih sekitar sepertiganilai utang luar negeri pada akhir 1987 (Mahyuddin, 1989).Bagi Indonesia, bayang-bayang krisis bantuan luar negeri bukannya tidak ada.Namun, dibanding negara-negara Amerika Latin dan Afrika, memang kondisi beban utangIndonesia masih relatif lebih ringan. Kendati debt service ratio (DSR), perbandingan antarapembayaran bunga dan cicilan utang, berkisar antara 25,4 persen hingga 40,7 persenselama 1985-1989, Indonesia agaknya tidak bisadibandingkan dengan negara-negara Amerika Latin yang beban pembayaran utangnyamelebihi penerimaan ekspor mereka. Jumlah utang yang meningkat selama tiga tahunterakhir sampai 1990 disebabkan oleh kebutuhan untuk mendapatkan pinjaman baru dankarena perubahan nilai tukar dollar AS terhadap Yen dan Mark Jerman sedangkan meningkatnya DSR karena sudah banyak utang yang jatuh tempo, anjloknya harga minyak bumf dan komoditi primer lain, serta currency realignment (Djojohadikusumo, 1990).

2.LANDASAN POLITIK LUAR NEGERI INDONESIA

Setiap entitas negara yang berdaulat memiliki kebijakan yang mengatur hubungannya dengan dunia internasional, baik berupa negara maupun komunitas internasional lainnya. kebijakan tersebut merupakan pencerminan dari kepentingan nasionalnya. Indonesia sebagai sebuah negara berdaulat juga menjalankan politik luar negeri yag senantiasa berkembang disesuaikan dengan kebutuhan dalam negeri dan perubahan situasi internasional.

Politik luar negeri Indonesia telah memasuki masa enam dekade sejalan dengan usia negara Republik Indonesia. Selama enam puluh tahun itu pula perjalanan bangsa dan negara Indonesia mengalami dinamika dalam menjalankan politik domestik demi kesejahteraan rakyat, sekaligus mengukuhkan eksistensinya di dunia internasional, melalui politik luar negeri. Pergantian kepemimpinan mulai dari Presiden Soekarno hingga Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menandakan telah berlangsungnya proses demokrasi di Indonesia, meski dengan berbagai persoalan yang mengiringinya.

Dalam setiap periode pemerintahan juga terjadi pemaknaan yang bervariasi terhadap prinsip-prinsip yang menjadi landasan dalam perumusan dan pelaksanaan politik luar negeri Indonesia. Perbedaan interpretasi tersebut diantaranya dipengaruhi oleh situasi dan kondisi yang terjadi di dalam negeri maupun luar negeri. Sementara itu, terdapat prinsip atau ladasan yang tetap dipertahankan, namun mengalami persoalan dalam relevansi dan dilema karena dianggap sudah tidak sesuai dengan perubahan dan perkembangan situasi yang demikian cepat. Tulisan yang menggunakan pendekatan deskriptif-formalistik ini akan membahas mengenai landasan dan prinsip yang dianut dalam pelaksanaan poltik luar negeri Indonesia pada enam periode kepemimpinan, yaitu mulai dari Presiden Soekarno hingga Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Landasan konstitusional dalam pelaksanaan politik luar negeri indonesia adalah Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Hal ini berarti, pasal-pasal UUD 1945 yang mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara memberikan garis-garis besar dalam kebijakan luar negeri Indonesia. Dengan demikian, semakin jelas bahwa politik luar negeri Indonesia merupakan salah satu upaya untuk mencapai kepentingan nasional Indonesia, yang termuat dalam UUD 1945. Sementara itu, Pancasila sebagai dasar negara Republik Indonesia diposisikan sebagai landasan idiil dalam politik luar negeri Indonesia. Mohammad Hatta menyebutnya sebagai salah satu faktor yang membentuk politik luar negeri Indonesia.

Kelima sila yang termuat dalam Pancasila, berisi pedoman dasar bagi pelaksanaan kehidupan berbangsa dan bernegara yang ideal dan mencakup seluruh sendi kehidupan manusia. Hatta lebih lanjut mengatakan, bahwa Pancasila merupakan salah satu faktor objektif yang berpengaruh atas politik liar negeri Indonesia. Hal ini karena Pancasila sebagai filsafah negara mengikat seluruh bangsa Indonesia, sehingga golongan atau partai politik manapun yang berkuasa di Indonesia tidak dapat menjalankan suatu politik negara yang menyimpang dari Pancasila.

Kemudian agar prinsip bebas aktif dapat dioperasionalisasikan dalam politik luar negeri Indonesia, maka setiap periode pemerintahan menetapkan landasan operasional politik luar negeri Indonesia yang senantiasa berubah sesuai dengan kepentingan nasional. Semasa Orde Lama, landasan operasional dari politik luar negeri Indonesia yang bebas aktif sebagian besar dinyatakan melaui maklumat dan pidato-pidato Presiden Soekarno. Beberapa saat setelah kemerdekaan, dikeluarkanlah Maklumat Politik Pemerintah tanggal 1 November 1945, yang diantaranya memuat hal-hal sebagai berikut:

1. Politik damai dan hidup berdampingan secara damai.
2. Politik tidak campur tangan dalam urusan dalam negeri negara lain.
3. Politik bertetangga baik dan kerjasama dengan semua negara di bidang ekonomi, politik dan lain-lain.
4. Politik berdasarkan Piagam PBB.

3. KAITAN ANTARA PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN DENGAN POLITIK LUAR NEGERI INDONESIA

I. Investasi Asing untuk Pembiayaan Pembangunan

Penanaman Modal Asing (PMA) sebagai salah satu aliran modal yang masuk ke suatu negara dianggap sebagai aliran modal yang relatif stabil dan mempunyai resiko yang kecil dibandingkan aliran modal lainnya, seperti portofolio investasi ataupun utang luar negeri. Salah satu sebabnya adalah dikarenakan PMA tidak begitu mudah terkena gejolak fluktuasi mata uang (seperti halnya investasi portofolio) ataupun beban bunga yang berat (misalnya utang luar negeri). Salah satu contoh adalah krisis ekonomi yang terjadi di Asia pada tahun 1997. PMA yang dianggap sebagai salah satu pemicu terjadinya krisis ekonomi di Asia, melainkan faktor pemicunya adalah investasi portofolio.

Selain itu kita bisa melihat begitu beratnya beban pembayaran bunga yang diderita masyarakat Indonesia akibat utang luar negeri. Sehingga pada masa mendatang sudah dapat dipastikan bahwa PMA diharapkan akan menjadi kunci suksesnya pembangunan di Indonesia. Sehingga PMA yang harus diterapkan di negara kita adalah PMA yang berdasarkan pembangunan berkelanjutan. Yang dimaksud dengan PMA yang berkelanjutan di sini adalah PMA yang dapat memaksimalkan keuntungan PMA bagi Indonesia (misalnya kesempatan kerja; kenaikan pendapatan; stabilitas ekonomi) dan meminimalkan dampak negatif PMA bagi Indonesia(misalnya monopoli oleh perusahaan multinasional; dampak negatif terhadap sosial dan ekonomi).

Dampak dari PMA terhadap perekonomian suatu negara dapat disimpulkan bahwa dampak terhadap ekonomi secara keseluruhan sangat tergantung dari kondisi host countries; tingkat tabungan-investasi domestik; metode yang digunakan dalam PMA (misalnya merger & acuisition ataupun greenfield investment) sektor-sektor yang terlibat dalam PMA; dan tentunya stabilitas dari host countries. Pada akhirnya diharapkan perlu untuk melakukan penilaian terhadap faktor faktor yang mempengaruhi dan dipengaruhi oleh PMA. Keputusan perusahaan asing dalam melakukan PMA akan didasarkan pada berbagai pertimbangan, misalnya stabilitas politik di host countries, aksesibilitas dan potensial pasar di host countreis, repatriasi keuntungan untuk kepentingan investor asing, dan terdapatnya infrastruktur yang memadai di host countries. Privatisasi dan deregulasi merupakan faktor kunci untuk menarik PMA.

II. Perdagangan Internasional Sebagai Motor Pembangunan

Masalah perdagangan internasional, yang di landaskan berdasarkan kebijaksanaan pembangunan ekonomi maupun kebijaksanaan perdagangan luar negeri banyak menyangkut ekspor sebagai pembatas pertumbuhan ekonomi. Potensi ekspor Indonesia sendiri dipengaruhi oleh perkembangan ekonomi dunia dan tantangan pada daya saing nasional.

Dengan perkembangan ekonomi dunia yang diliputi gejolak dan perubahan struktural telah menyebabkan ketidakpastian dan makin ketatnya ekonomi dunia sebagai pasar ekspor Indonesia. Indonesia perlu berupaya meningkatkan peran di berbagai forum internasional baik yang bersifat multilateral dan regional yang menunjang usaha untuk menciptakan tatanan perdagangan dunia yang lebih bebas, terbuka dan adil. Guna mengembangkan perdagangan internasional, setidaknya diperlukan dua hal yaitu penciptaan persaingan sehat di dalam negeri untuk meningkatkan daya saing serta peningkatan akses pasar perdagangan internasional.

Hal lain yang perlu diperhatikan adalah bagaimana mengatasi masalah yang timbul dari fluktuasi harga dan tekanan (shock) yang timbul dari luar. Dalam upaya memenangkan suatu persaingan di pasar internasional, diperlukan tingkat daya saing yang tinggi. Tingkat daya saing Indonesia di pasar internasional dinilai masih cukup rendah dibandingkan dengan negara Asia lainnya. Pada tahun 2001, index daya saing Indonesia berada di urutan ke 55, satu tingkat di bawah negara tetangga yaitu Philipina. Hal ini sangat jauh sekali dibandingkan Singapura yang berada pada urutan ke 10. Sedangkan negara lain seperti Malaysia, China, Taiwan atau India memiliki ranking indeks daya saing berada di atas Indonesia. Salah satu upaya untuk meningkatkan daya saing di pasar global adalah Kompetisi domestik atau persaingan usaha yang sehat merupakan suatu bagian dari prinsip ekonomi pasar yang merupakan prasyarat yang harus dipenuhi dalam rangka penciptaan ekonomi pasar yang kuat.


Kompetisi yang sehat dalam perdagangan domestik sendiri baru mendapatkan perhatian secara serius di tahun 1999. Sejak tahun 1999, Indonesia memiliki undang-undang persaingan usaha yaitu UU No. 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat yang disahkan oleh Pemerintah dengan persetujuan DPR pada tanggal 5 Maret 1999. UU ini berlaku efektif satu tahun sejak diundangkan disertai masa persiapan enam bulan. Kebijakan perdagangan luar negeri sendiri, merupakan salah satu dari kebijakan ekonomi makro, adalah tindakan atau peraturan yang dibuat oleh pemerintah yang mempengaruhi struktur dan arah transaksi perdagangan dan pembayaran internasional. Karena meruapakan salah satu bagian, maka kebijakan perdagangan luar negeri tidak independen, malainkan saling mempengaruhi terhadap komponen-komponen lain dari kebijakan ekonomi makro tersebut, seperti kebijakan industri, kebijakan fiskal, kebijakan tenaga kerja, kebijakan moneter dan lainnya. Tujuan kebijakan ekonomi perdagangan luar negeri adalah pertama, untuk melindungi kepentingan ekonomi nasional dari pengaruh buruk atau negatif dari luar negeri, misalnya efek resesi ekonomi dunia terhadap pertumbuhan ekspor Indonesia. Kedua, untuk melindungi industri nasional dari persaingan barang-barang impor dari luar negeri. Ketiga, untuk menjaga keseimbangan neraca pembayaran yang sekaligus menjamin persediaan devisa yang cukup terutama untuk kebutuhan pembayaran impor dan cicilan utang luar negeri.

III. Utang dan Bantuan Luar Negeri

Jika dilakukan perbandingan negara-negara berkembang Asia lainnya dan beberapa negara Amerika Latin tahun 1987-2000, pada dasarnya Indonesia bukanlah satu-satunya negara yang menghadapi masalah luar negeri. Dalam hal stok terhadap PDB pada tahun 2000, Indonesia tergolong paling besar namun dalam hal beban pembayaran terhadap ekspor barang dan jasa, Indonesia tidaklah sebesar Argentina dan Brazil. Bahkan stok utang luar negeri Indonesia sudah mengalami penurunan dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Negara yang menghadapi masalah pembayaran luar negerinya cenderung mengalami gangguan ketidakseimbangan eksternal (external imbalances). Masalah akibat ketidakseimbangan eksternal tidak hanya dihadapi oleh Indonesia. Hal itu dapat dilihat dari masih banyaknya negara yang menjadi pasien IMF sehingga perlu mendapatkan kucuran dana dari lembaga keuangan internasional tersebut.

Permasalahan utang luar negeri sekarang telah menjadi fokus perhatian utama meski pada awalnya sendiri utang luar negeri seperti dimanatkan oleh GBHN tahun 1973 hanya sebagai pelengkap dan pembantu akan tetapi dalam perjalanannya telah terjadi penumpukan stok utang luar negeri yang relatif tinggi. Posisi utang yang sudah tinggi tersebut membawa konsekwensi logis pada beban pembayarannya. Melemahnya nilai tukar rupiah juga menyebabkan kewajiban pembayaran utang dalam rupiah menjadi meningkat secara tajam, sementara ketersediaan dana luar negeri semakin sulit. Bagi sektor swasta, melemahnya nilai tukar rupiah mengakibatkan sektor ini harus menyediakan rupiah lebih besar untuk pembelian valas dalam rangka pembayaran kembali utang luar negerinya.

Beban pembayaran menjadi semakin berat karena keperluan pembayaran utang yang sudah jatuh tempo telah meningkatkan permintaan terhadap mata uang dolar Amerika yang otomatis semakin menekan nilai tukar rupiah. Permasalahan yang lain adalah rendahnya kualitas proyek yang sudah dibangun dari pendanaan utang luar negeri, dimana bangunan yang terbengkalai, terjadinya pembangunan yang tidak merata, disertai masih rendahnya kualitas sumber daya manusia termasuk pemahaman terhadap pentingnya masalah kesehatan dan kebersihan. Dengan demikian dapat dikatakan dana pembangunan yang sebagian besar ditopang oleh pinjaman luar negeri tidak optimal pemanfaatannya.

Sumber :

1.http://masniam.wordpress.com/2009/04/02/landasan-politik-luar-negeri-indonesia/.
2.http://www.scribd.com/doc/51710380/48/STRUKTUR-PEMBIAYAAN-PEMBANGUNAN
3.http://okkifajrin.blogspot.com/2010/01/hutang-luar-negeri-dan-pembiayaan.html
4.http://www.kemlu.go.id